Begini Hukum Tahlilan Menurut Kacamata Islam

Andreas Natawijaya
Tahlilan mempunyai banyak hukum dalam kacamata Islam, berikut ini diantaranya.

BONDOWOSO, iNewsBondowoso.id - Tahlilan berasal dari kata tahlil. Tradisi ini dimulai saat Walisongo berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu Hindu-Buddha masih bercokol kuat, khususnya di tanah Jawa.

Walisongo tentu cukup kesulitan untuk menyebarkan ajaran baru pada saat itu mengingat masyarakat yang keras kepala dan tidak mau melepaskan kepercayaan yang sudah dianut sejak nenek moyang mereka.

Para Walisongo dan ulama saat itu harus ekstra memutar otak agar bisa mendapat cara halus dalam mendekati masyarakat dan berdakwah, diantara cara tersebut adalah melalui pernikahan, perdagangan, dan peleburan budaya.

Jika pernikahan dan perdagangan hanya menyentuh kalangan tertentu saja, maka satu-satunya cara yang dampaknya luas adalah dengan peleburan budaya. Salah satu budaya yang kental saat itu adalah sajen kepada leluhur dan para dewa.

Melihat tradisi tersebut, Walisongo meleburnya dengan tata cara islami. Sajen tetap ada, berupa makanan lengkap, dan layak makan. Hanya saja kini peruntukannya diganti. Jika dulu diletakkan begitu saja hingga basi, kini dimakan secara bersama sebagai bntuk syukur.

Selain perubahan arah sajen, Walisongo juga menambah dengan bacaan sholawat, puji-pujian, serta tahlil. Sejak saat itu tradisi tahlilan dilakukan masyarakat, lengkap dengan kenduri dan makan bersama.

Bagaimana Islam Memandang Tradisi Tahlilan?

Setelah mengetahui sejarah tahlil, kini kita beralih pada hukum tahlilan itu sendiri menurut pandangan Islam.

Terdapat khilafiyah ulama atau perbedaan pendapat dalam memaknai tahlil, tergantung bagian-bagian mana dari amalan tersebut. Tahlilan sendiri terdiri dari; menghadiahkan kalimat thayyibah pada mayit, bersedekah atas nama mayit, serta mengkhususkan waktu berdoa atas mayit.

1. Menghadiahkan kalimat tayyibah pada mayit 

Mengenai poin pertama ini, dikutip dari islam.nu.or.id mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:

 أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ   

Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131).

Kemudian pendapat kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:

 قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ  

Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

2. Mengkhususkan waktu berdoa atas mayit

Sebagian besar ulama memperbolehkan hal ini, berdasarkan pada hadis riwayat Ibnu Umar: 

  عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ.  

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.

3. Bersedekah atas nama mayit

Sama seperti sebelumnya, sebagian besar ulama juga memperbolehkan hal ini dan pahala juga sampai pada si mayit, berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha:   

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ  

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”

Demikianlah pandangan Islam terhadap tahlilan. Semoga bermanfaat, ya!

Editor : Taufik Hidayat

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network